Sunday, March 24, 2019

Ulasan Film The Black Road

Merupakan judul sebuah film dokumenter yang dibuat oleh William Nessen. Secara umum, film ini menceritakan sebuah perjalan sejarah Aceh dari masa konflik hingga pasca tsunami. Film yang berdurasi selama 52 menit ini merupakan suatu film yang menggambarkan situasi konflik di Aceh dalam lini terdepan.

Ada film lain yang cukup keren yaitu adalah the titan  yang layak untuk kamu tonton.

Film The Black Road ini di buat dalam rentang waktu yang sangat lama untuk sebuah produksi film dokumenter. Selama 3 tahun dalam rentang 2003 hingga 2005 film ini diselesaikan.

Jika anda melihat film ini, seakan anda berada dalam suatu kondisi peperangan yang nyata, seolah-olah anda berada di lokasi tersebut. Sang pembuat film ini memberanikan diri terjun ke garis depan konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Negara Indonesia (TNI). Tidak jarang, dia kerap terlibat dalam baku tembak antara Teuntra Neugara Acheh (TNA) dan TNI di hutan


Dengan kamera di tangannya, William yang di akrab di sapa Billy ini merekam detik-detik letupan bedil antara dua belah serdadu yang tengah berperang.

Pada awal durasi film ini, Billy menceritakan perjalanan panjang proses konflik di Aceh. Di buka dengan reruntuhan pasca tsunami, perlahan film ini membawa para penontonnya untuk mengikuti alur konflik di Aceh. Kisah ketika pertama kali dia meliput di daerah ini juga tidak lupa di edit dalam film ini, perkenalannya dengan Brigjen Bambang Dharmono (ketika itu) Panglima Koops Daerah Militer NAD, dan Mayjen Syafrie Sjamsoeddin (ketika itu) Kapuspen TNI pada saat itu mengawali kisah seorang wartawan freelance ini di belantara hutan gerilya Aceh.



William Nessen ialah seorang wartawan lepas berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia bekerja untuk memberikan kontribusinya untuk berbagai media cetak dan elektronik di Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Ia bertugas melakukan Investigative Reporting di Aceh. Sesuai dengan kesepakatan antara Wiliam dengan TNI, TNI berjanji tidak akan menangkap dan menembaknya di lapangan.

Seperti halnya kebiasaan wartawan investigasi kebanyakan, penampilannya dibalut dengan rompi yang banyak saku. Wartawan yang memiliki nama lengkap William Arthur Nessen ini menjalani hari-hari tugasnya dengan cengegesan, selalu tersenyum, parasnya yang kurus, dengan pipinya yang menciut dihiasi dengan jambang tipis, Billy selalu semangat dalam melakukan peliputan.



Peliputan Billy bukan hanya dan ketika di Aceh saja. Sebelumnya, ia juga pernah meliput berbagai aksi, seperti aksi reformasi yang mengakibatkan lengsernya Soeharto dari tahta RI1. Ia juga meliput proses referendum di Timor Timur, serta konflik di Papua.

Dalam rentang tahun 2003, Aceh sedang diberlakukan Darurat Militer, hampir tidak mungkin melakukan reportase invetigasi di sana, selain pembatasan ruang gerak wartawan oleh serdadu Indonesia, juga kurangnya keberanian wartawan Indonesia untuk terjun ke garis terdepan peperangan di Aceh.

Terjun ke dalam kancah perperangan demi suatu peliputan investigative sangatlah beresiko. Billy melakukan itu karena ia mencoba untuk mendapatkan berita dari kedua belah pihak dalam liputannya. John Colson dalam tulisannya mengutip kata-kata Billy:

“I tried to get both sides of the story," he said, adding that "to really understand people is to live with them, and experience what they are experiencing." It was his way of pursuing "the elusive thing called truth."

“Aku mencoba untuk mendapatkan berita dari dua sisi,” ia menambahkan bahwa “untuk benar-benar mengerti tentang mereka adalah dengan cara hidup bersama mereka, dan menjalani apa yang sedang mereka jalani.” Itu adalah cara dia melakukan pendekatan “hal yang sangat sulit untuk mendapatkan kebenaran”


Atas dasar prinsip yang menjadi pegangannya itulah, Billy memberanikan diri terjun ke kancah perang antara serdadu GAM dan TNI.

Film yang dibuat oleh Billy ini banyak diambil di wilayah konsentrasi GAM pantai barat dan selatan. Dengan pasukan yang dipimpin Pang Dani, Billy bersama dengan pasukan-pasukan Pang Dani ikut dalam operasi penyergapan dan penyerangan pasukan TNI dan Polri.

Melalui film ini, kita tahu bahwa GAM di dukung oleh rakyat. GAM hidup bersama rakyat, dan juga rakyat sering kali membantu GAM dalam hal logistik dan perlengkapan.

Dalam pembuatan film ini, Billy dibantu oleh seorang wartawan dari Jakarta asal Aceh, Sya'diah Syeh Marhaban (Shadia) namanya, janda dengan dua anak ini adalah wartawati salah satu televisi swasta di Jakarta. Pertemuan mereka terjadi pada tahun 2001, sejak saat itu mereka meliput konflik Aceh bersama. Ternyata, perjalanan peliputan itu diwarnai dengan asmara antara Billy dan Shadia. Hingga pada 8 November 2002 mereka memutuskan untuk menikah dengan adat Aceh. Dalam film ini, Billy tidak menjelaskan status agamanya ketika menikahi Shadia.

Sekitar lima menit dari durasi film ini, Billy menampilkan profil singkatnya. Bagaimana hubungnnya dengan Musliadi, salah satu aktivis HAM di Aceh yang begitu dekat, hingga ia sangat sedih ketika Musliadi mati di aniaya.

Bambang Darmono, seakan tidak percaya ketika Billy menanyakan kasus ini padanya. Bambang seperti disudutkan oleh Billy atas pertanyaan-pertanyaan terkait kematian Musliadi.
Juni 2003, tersiar kabar di telinga TNI bahwa GAM menyandera seorang wartawan asing. Wartawan tersebut tidak lain ialah William Nessen yang sedang melakukan reportase. TNI segera melakukan operasi pembebasan sandera, operasi tersebut berhasil. GAM meninggalkan Billy dalam kontak senjata antara GAM dan TNI. Hingga pada tanggal 24 Juni 2003 William Nessen di deportasi ke negara asalnya setelah ditahan selama 20 hari dalam proses interogasi.
Sekitar setengah durasi film, kita dibawa kesuatu gambaran Aceh pasca tsunami. William Nessen ternyata secara diam-diam masuk ke Aceh dan meliput tragedi tsunami di daerah ini.

Ketika Indonesia kebanjiran bule, Billy ikut meramaikan pasar bule di Aceh, untuk meliput tragedy tsunami. Bukan hanya itu, ia sempat melakukan reuni bersama Pang Dani di kantong pertahanan GAM wilayah pantai barat selatan.

Pasca tsunami, konflik Aceh masih berlanjut hingga akhirnya 25 Agustus 2005. Pemerintah Indonesia sepakat untuk berdamai dengan Gerakan Aceh Merdeka. Istri Billy, Shadia, ikut dalam perundingan yang diselenggarakan di Helsinki, Finlandia. Ia bertindak selaku anggota tim perunding GAM.

Juli 2006, Billy masuk ke Aceh bersama rombongan petinggi GAM yang pulang ke kampung halaman. Kali ini Billy di deportasi lagi, pejabat imigrasi beralasan bahwa itu perintah dari Badan Inteligen Nasional (BIN). Dalam komentarnya di The Jakarta Post, Billy mengatakan:

"They're afraid of me. Why, because I was helping GAM for Helsinki,"

“Mereka takut sama saya. Kenapa, karena saya telah membantu GAM di Helsinki,”


Padahal tujuan Nessen ke Aceh bukan untuk reportase atau tugas peliputan, tetapi ia hanya ingin mengunjungi istrinya.

Film yang dinarasikan sendiri oleh Billy ini telah memenangkan beberapa penghargaan film dokumenter. Diantaranya The Best Documentary dalam Festival film dokumenter terbesar di Asia The 2006 Mumbai International Film Festival.

Edward Aspinall, Peneliti dari Australian National University dan editor Inside Indonesia, memberikan komentar terhadap The Black Road:,

"By showing conflict from the perspective of ordinary villagers and insurgents, William Nessen's film presents a perspective of war that is not only unique in reportage of Aceh, but which is rare in the media's coverage of any of the 'small wars' which take so many lives around the globe. So often, we see only the view of governments and their troops. Here, the lens is reversed, and the effect is remarkable."

“Dengan menampilkan konflik dari sudut pandang para penduduk dan pemberontok, film William Nessen memperlihatkan bahwa reportase perang di Aceh bukan saja unik, tetapi sangat jarang media memberikan ulasan terhadap “perang kecil” yang mana mengambil perhatian dari seluruh dunia. Biasanya, kita hanya melihat pemerintah dan para serdadunya. Di sini, lensa berbalik, dan menimbulkan efek yang sangat luar biasa”.


Film ini saya pikir harus dimiliki oleh semua rakyat Aceh, ini merupakan asset bangsa ini untuk melihat kembali sejarah yang pernah terjadi di sini. Memaafkan bukan berarti melupakan.

Tetapi anehnya, film ini dilarang di putar di Indonesia dalam Jakarta Film Festival (JiFFest) 2006. Festival ini diselenggarakan pada 8-17 Desember 2006 lalu. Sebenarnya ada empat film yang dilarang diputar di acara tahunan ini, yaitu The Black Road yang menceritakan konflik di Aceh, serta Tales of Crocodiles, Passabe, dan Timor Loro Sae menceritakan tentang Timor Timur (Timtim).

Film-film tersebut dilarang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia.
Alasan yang dikemukakan oleh Titi Said selaku Ketua LSF yang dikutip Kompas dalam Asociated Press (AP) mengatakan bahwa:

"Dokudrama ini secara ekstrem membela satu pihak. Nasionalisme dipertaruhkan." Ia menambahkan lagi bahwa “jadwal pemutaran Black Road di JiFFest 2006 merupakan waktu yang tidak tepat, karena hanya beberapa hari sebelum pemilihan pertama secara langsung gubernur NAD, yang akan diadakan pada 11 Desember mendatang. "Itu dapat meruntuhkan situasi kondusif di Aceh yang telah dibangun dengan usaha yang begitu besar,"

Di Indonesia, Film ini dilarang beredar. Hanya kalangan aktivis dan para jurnalis terbatas yang memiliki film ini

http://kanvasbiroe.blogspot.com

Readmore.....“Ulasan Film The Black Road ”

Tuesday, July 26, 2011

MEUGANG TRADISI MASYARAKAT ACEH MENYAMBUT PUASA DAN HARI RAYA

Makmeugang atau Makmuegang atau Meugang adalah salah satu tradisi yang ada dalam masyarakat Aceh yang telah ada sejak berabad yang lalu yaitu acara membeli daging, memasak daging dan menikmatinya bersama-sama baik dengan keluarga bahkan ada yang mengundang anak yatim untuk menikmati kebersamaan hari meugang ini.

Sejumlah warga memadati pusat pasar meugang tradisional Inpres Lhokseumawe, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Selasa (10/8). Perayaaan meugang yang dilakukan tiga kali dalam setahun yakni meugang menghadapi bulan suci Ramadhan, meugang Hari Raya Idul Fitri dan meugang Idul Adha.(*rahmad/ant/z-Matanews)

Tradisi ini dilakukan tiga kali dalam setahun :

1. Menjelang bulan Puasa atau bulan Ramadhan
2. Menjelang Hari Raya Idul Fitri
3. Menjelang Hari Raya Idul Adha



Hari Makmuegang telah ada sejak berabad yang lalu dan biasanya dilakukan sehari sebelum bulan puasa,hari raya idul fitri dan hari raya idul adha, namun di zaman moderen ini bahkan hari makmeugang secara tidak langsung sudah menjadi 2 hari,ada meugang ubit (meugang kecil) pada hari pertama dan meugang rayeuk (meugang besar) pada hari kedua. Namun, tidak semua wilayah atau juga kabupaten di Aceh menerapkan hari meugangnya selama dua hari, ada juga hanya sehari saja.

Yang membedakan meugang kecil dan meugang besar, hanya jumlah daging yang dipasarkan atau dengan kata lain banyaknya penjual yang turun ke pasar. Jika pada hari kedua, yakni meugang besar sudah bisa dipastikan tempat yang dijadikan pasar dadakan akan sangat ramai sekali.

Perputaran ekonomi masyarakat di hari meugang memang sangat luar biasa, banting harga, kualitas daging serta jenis daging juga mempengaruhi para pembeli yang notabennya juga warga setempat.



Hari meugang ini biasanya mulai beroperasi dari pagi hari–setelah shalat shubuh–sampai siang hari sebelum waktu shalat zuhur. Walaupun, ditemukan masih ada yang berjualan sekitar siang kita bisa menghitung pakai jari jumlahnya, karena pengaruh waktu juga akan mempengaruhi harga.

Makmuegang berasal dari kata :
1. Makmue artinya makmur ( Semua elemen masyarakat Aceh pada hari inilah dari segala elemen masyarakat dapat menikmati daging tanpa kecuali , benar-benar satu hari yang benar-benar makmur yang dinikamati dan dirasakan semua masyarakat Aceh baik pejabat maupun rakyat jelata,baik yang kaya maupun yang miskin,Janda miskin maupun anak yatim, bahkan di hari makmuegang ini anak yatim kalau mendapat undangan dari tuan rumah yang ingin berbagi malah mendapat amplop yang berisi uang yang diberikan oleh yang empunya rumah…inilah yang dinamakan makmue…semua elemen masyarakat menikmatinya
2. Gang artinya Gang di dekat Pasar ( Kumpulan para penjual daging yang berjualan di gang-gang pasar,biasanya satu gang ini terapat puluhan bahkan ratusan lapak,tiap lapak para pedagang seluas ukuran meja,di atas meja inilah daging sapi dipajang sementara diatasnya dipajang bamboo tempat gantungan daging masi utuh dengan pahanya)

Tradisi hari makmuegang ini muncul bersamaan dengan penyebaran agam Islam di Aceh sekitar abad ke 14 Masehi, sesuai dengan ajaran Islam, datang hari-hari besar Islam yaitu bulan suci Ramadhan,Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha sebaiknya disambut secara meriah

Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari darat ,sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa hari makmuegang ini masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan.

Zaman dahulu, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu. Dan tradisi masih juga dilakuakn oleh sebagian orang-orang kaya sementara orang yang berpenghasilan pas-pasan paling tiding mengundang anak yatim kerumahnya.

Sebuah pepatah Aceh yang tidak dapat dipisahkan di hari makmuegang bahkan sudah berlaku berabad-abad yang lalu cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari makmuegang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting dan istimewa, di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-samajuga sebagai wujud mensyukuri nikmat rezeki selama setahun itu,

“ SI THOEN TAMITA, SI UROE TA PAJOH ”
Artinya : Setahun kita mencari rezeki/nafkah,sehari kita makan/nikmati

Yang menjadi momok masyarakat untuk meugang seperti yang saya kutip dari Kompasiana memang tidak lain dan tidak bukan adalah masalah harga yang terus melambung tinggi, saat pagi pasar dadakan meugang dibuka harga sejumlah daging bisa melonjak cukup tinggi di atas 100 ribu per kilo.

Namun, tidak semua penjual daging memiliki harga yang sama, disinilah kadang terjadi perang harga antara penjual dalam menarik minat pembeli. Dalam sehari meugang, untuk wilayah tertentu banyak sapi yang dihabiskan bisa mencapai seratus lebih, sangat beda dengan hari-hari biasa yang cuma membutuhkan 3 atau 4 sapi untuk penjualan biasa.

Memang meugang telah menjadi sebuah kebutuhan masyarakat Aceh dalam meneruskan tradisi nenek moyangnya, kebiasaan meugang biasanya akan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat baik mereka keluarga miskin yang tidak sanggup membeli atau juga masyarakat menengah ke atas yang nantinya membagi-bagikan hasil olahan dari daging tersebut untuk dibagi ala kadarnya.

Kembali pada soal harga, jika penjual sudah mulai merasa bahwa yang tinggal lapak untuk berjualan daging hanya tinggal beberapa, terutama saat sudah mulai siang atau akan kelihatan sore. Harga yang ditawarkan akan drastis turun sampai 50 ribu per kilo bisa dilepasnya untuk menghabiskan sisa daging yang dimiliki oleh penjual.

Seperti yang saya kutip dari Bulletin Lamuri Online Perayaan Meugang memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh:

1.Nilai Religius
Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya bulan Ramdhan yang penuh berkah.
Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan.
Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih karena masyarakat Aceh dapat melaksanakan Qurban.

2.Nilai Sedekah atau Nilai berbagi sesame
Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan Meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh. Tak hanya para dermawan, momen datangnya hari Meugang juga telah dimanfaatkan sebagai ajang kampanye oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, maupun partai-partai di kala menjelang Pemilu. Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rejeki, perayaan Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar maupun pusat penjualan daging sapi.

Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.


c. Nilai Kerbersamaan
Tradisi Meugang yang melibatkan sektor pasar, keluarga inti maupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga. Perayaan Meugang menjadi penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan.

Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.

d. Menghormati Orang Tua
Tradisi yang telah kita diskusikan di atas tak hanya merepresentasikan kebersamaan dalam keluarga, namun juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Seorang pria, terutama yang baru menikah, secara moril akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahwa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya. Tak hanya para menantu, pada hari Meugang para santri (murid-murid yang belajar agama) pun biasanya akan mendatangi rumah para guru ngaji dan para teungku untuk mengantarkan masakan dari daging sapi sebagai bentuk penghormatan. Begitu pentingnya nilai penghormatan terhadap orang tua telah mengkondisikan tradisi tersebut tidak mungkin untuk ditinggalkan. Jika ditinggalkan hidup menjadi terasa tidak lengkap dan dan muncul perasaan terkucil.
Pelaksanaan tradisi Meugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengapresiasi datangnya hari-hari besar Islam. Tradisi ini secara signifikan juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di antara warga, sehingga secara faktual masyarakat Aceh pada hari itu disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk memperoleh daging, memasak, dan menikmatinya secara bersama-sama. Selain dampak penguatan ikatan sosial warga di tingkatan gampong dan tempat kerja (kantor), nampak pula dampak signifikan dari tradisi ini di ranah pasar, yaitu aktivitas jual-beli daging yang meningkat tajam.

Selamat hari makmeugang..selamat menikamati hari kebersaman saat memakan daging sapi yang terbaik bersama keluarga dan warga.

Readmore.....“MEUGANG TRADISI MASYARAKAT ACEH MENYAMBUT PUASA DAN HARI RAYA”

Tuesday, October 20, 2009

Kampung Jacky Chan di Aceh


Kampung persahabatan Indonesia-Tiongkok yang lebih terkenal dengan Kampung Jacky Chan terletak di di perbukitan Desa Neuheun, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, sekitar 17 km dari Banda Aceh.



Mengapa lebih dikenal Kampung Jacky Chan? Padahal, yang membangun pemerintah Tiongkok? Konon yang mensponsori dan menggalang dananya Jacky Chan. Tapi, dalam prasasti disebutkan bahwa Kampung Jacky Chan atau Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok itu didanai China Charity Federation and Red Cross Society of China. Dan, pelaksanaan pembangunan dilakukan langsung oleh kontraktor dari Tiongkok, yakni Synohydro Coorporation China, yang diresmikan 19 Juli 2007.

Pemerintah Tiongkok membangun 606 unit rumah tipe 42 di areal 22,4 hektare untuk korban tsunami 2004,Pembangunan hunian korban tsunami itu merupakan hasil kesepakatan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Tiongkok saat Presiden SBY berkunjung ke negeri itu pada 28 Juli 2005. Kesepakatan itu dilanjutkan oleh donatur masyarakat Tiongkok bekerja sama dengan Kabupaten Aceh Besar. Termasuk dalam hal pemilihan lokasi.

Peletakan batu pertama dilakukan Dubes Tiongkok untuk Indonesia Lian Lik Juan. Pada 19 Juli 2007, kompleks hunian korban tsunami yang menelan dana USD 7 juta (sekitar Rp 65 miliar) itu diresmikan. Pekerjaan senilai USD 7 juta merupakan proyek hibah terbesar Tiongkok di antara daerah yang sama-sama dilanda tsunami.

Nuansa negeri Tiongkok begitu kental saat memasuki gerbang Kampung Jacky chan yang sebenarnya mirip kompleks bungalo, atau vila itu.




Gerbang masuk perumahan cukup lebar dengan ornamen dibuat layaknya memasuki pintu atau gerbang bangunan umumnya di Tiongkok atau kompleks Chinatown di banyak negara. Benar-benar ciri khas Tiongkok. Di sana juga terpampang tulisan ’’Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok’’ dalam huruf besar-besar di pintu masuk.

Selain bangunan yang tertata rapi, jalan mulus naik turun mengikuti kontur perbukitan sungguh elok. Rumah bantuan pemerintah Tiongkok itu lebih mirip kompleks perumahan elite di Pulau Jawa umumnya.
Apalagi, kualitas bangunan rumah masing-masing bertipe 42 itu cukup bagus. Ditambah lagi, cat warna warni pada setiap blok yang makin menambah indahnya perumahan di perbukitan tersebut.



Tak heran, pemukiman korban tsunami yang dibangun pemerintah Tiongkok di perbukitan itu sangat dikenal warga Banda Aceh, Kampung Jacky Chan sungguh sangat strategis. Selain berada di ketinggian sekira 300 meter, juga berjarak sekira 1,5 kilometer dari pantai. Posisi itu membuat kampung itu relatif aman dari tsunami serta memiliki pemandangan yang elok.Sejauh mata memandang, berada di puncak bukit Desa Neuheun, tempat perumahan korban tsunami sumbangan pemerintah Tiongkok dibangun, semuanya tampak indah. Laut, pantai, pelabuhan, permukiman, dan gunung seakan sambung-menyambung. Panorama dari atas bukit benar-benar memesona.

Tampak Kota Banda Aceh, ibu ota Provinsi Serambi Makkah, dengan rumah-rumah dan gedung tinggi. Lalu, agak sebelah kanan terlihat Pelabuhan Ulee Lheu yang sempat porak-poranda oleh tsunami tampak mulai bangkit.





Tak jauh dari perumahan, deretan pantai berpasir putih nan menawan dan sebelahnya Pelabuhan Malahayati. Jauh nun di sana, sekira 32 kilometer dari pantai, tampak jelas Pulau Weh dengan Pelabuhan Balohan.Kalau malam, sorot mobil yang jalan di Pulau Weh tampak dari atas bukit Perumahan.

Kontur Pulau Weh memang berbukit-bukit. Dari Pelabuhan Balohan yang menjadi pintu masuk kapal penumpang, jalannya terus menanjak ke Sabang, ibuKota Pulau Weh, yang jaraknya sekira 10 km.




Perumahan Jacky Chan juga dilengkapi sarana ibadah dengan masjid yang besar dan indah, ada gedung TK, SD, poliklinik, dan sarana bermain. Mulai lapangan basket, lapangan bola, gedung petemuan, hingga pasar mini. Di setiap tempat itu terpampang tulisan ’’Bangunan ini sumbangan masyarakat Tiongkok’’ lengkap dengan huruf China.



Untuk memenuhi kebutuhan air, semula warga sedikit kesulitan karena lokasinya berada di ketinggian. Namun, BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Aceh-Nias berhasil membangun sumur bor di wilayah itu hingga bisa memenuhi kebutuhan penghuni. Listrik pun menyala 24 jam nonstop

Penghuni Kampung Jacky Chan yang merupakan para korban tsunami 26 Desember 2004 terdiri atas beragam latar belakang profesi dan etnis.Nelayan, penarik becak motor (ojek), pedagang, pegawai, maupun wiraswasta, semua ada di sini. Sebagaian dari Aceh, ada keturunan Aceh-Jawa, Tionghoa, dan suku yang lain. Semua hidup rukun dan saling membantu karena merasa senasib.Misalnya, jika ada penghuni lain yang memiliki keperluan mendadak, ada keluarga atau anaknya sakit, dan tidak ada kendaraan, bisa diantar atau meminjam kendaraan penghuni lain.

Sumber : http://rakyataceh.com -http://sautuqalbi.blogspot.com - http://www.kaltimpost.co.id

Readmore.....“Kampung Jacky Chan di Aceh”

HUBUNGAN SEJARAH ACEH & TIONGKOK

Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie



Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.

Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.

Kerajaan Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.

Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu .Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.

Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai.

Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis.

Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya.

Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang paling kuat diseluruh Nusantara. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam,Eropah dll.

Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai perkampungan- perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung Cina, Portugis, Gujarat,Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.

Pada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan dan pengecoran meriam, oleh karena itu tidak semua meriam yang ada di Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.

Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar Thani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam.

Pernah pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa dikenakan larangan untuk tinggal di wilayahnya, karena dianggap memelihara babi. Pada jaman Iskandar Thani ini di ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniry (orang Gujarat, penasihat Sultan, ahli tasawuf). Diceritakan bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.

Peranan orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal- kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan, yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).

Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti kebiasaannya. Pada akhir september, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard)

Cakra Donya

Lonceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama "Cakra Donya" (Cakra Dunia) waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.



Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" (teror dunia). Kemudian Lonceng yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan sejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.

Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai pengganti masjid yang sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda sebelumnya pada tahun 1874.Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh, masjid ini dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya pada bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881. Arsiteknya adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU.Bahan bangunannya banyak yang di impor dari luar negeri seperti batu pualam dari Tiongkok dan besi jendela dari Belgia.



Pembangunan Masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie. Bukan saja kontraktornya seorang Tionghoa, para pekerjanya pun hampir sebagian besar terdiri dari pekerja orang Tionghoa yang memiliki ketrampilan khusus, karena bangunan konstruksi dan detailnya cukup rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat bekerja disana ternyata sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun 2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang air laut yang dahsyat.

Tsunami

Pada peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Tionghoa Aceh yang menjadi korban dan meninggal. Sekitar 6000 orang Tionghoa telah mengungsi ke Medan dan ditampung di kamp Metal. Di kamp pengungsian Medan ini bukan hanya warga Tionghoa saja yang ditampung untuk mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga dari etnis lainpun ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa perbedaan..



Diperkirakan sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu peristiwa tsunami itu yang kebanyakan bermukim di "Peunayong" atau pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh. Mereka juga banyak yang mengeluh, bahwa toko-tokonya ada yang dijarah ketika itu (sekitar 60% pertokoan di Banda Aceh milik warga Tionghoa). Tidak semua warga Tionghoa itu ekonominya berkecukupan atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa yang miskin pun dapat
dijumpai disana seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan Kampung Laksana, yang tak jauh dari Peunayong. Dan tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda Aceh ini mengungsi ke Medan, beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti sepasang suami istri pemilik toko kaca mata "Joy Optikal", dimana separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik toko Jay Optikal, Maria Herawati berkata "Hidup atau Mati, saya akan tetap tinggal di Aceh" (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).

Kepedulian komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi dan individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan memberikan bantuan yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat seperti ICCA (Indonesian Chinese American Association) yang berkedudukan di Monterey Park, California serta Organisasai- organisasi Tionghoa lainnya dari Singapore, Malaysia dan Taiwan juga datang memberikan bantuan.

Pemerintah Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan bangunan untuk membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat total 7000 ton itu akan dipakai untuk membangun 60 sekolah yang masing-masingnya terdiri dari 15 kelas. Bantuan ini diberikan sesuai dengan permintaan pemerintah Indonesia. Selain itu Dubes Tiongkok untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatasnamakan sumbangan dari rakyat Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun pemukiman baru dengan 660 unit rumah tipe 42 di Desa Neuheuen, kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas lahan seluas 22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan, Puskesmas, balai pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola. Perumahan ini nantinya akan dinamakan Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok.

Pasca tsunami dan rekonstruksi Aceh

Berdasarkan pengalaman yang lalu, seperti pada pasca kerusuhan di Maluku (Ambon, Ternate dan Halmahera), pembangunan kembali atau rehabilitasi suatu daerah pasca bencana, dibutuhkan suatu kegiatan ekonomi untuk benar-benar dapat kembali seperti sedia kala. Adalah tidak cukup hanya terbatas pada rehabilitasi tempat tinggal, prasarana teknis dan sosial lainnya. Memiliki tempat tinggal tetapi tidak ada kegiatan ekonomi, berarti juga tidak memecahkan masalah

Tanpa adanya kegiatan ekonomi atau aktivitas perdagangan, sulit kiranya untuk berjalan normal kembali, seperti kemana rakyat nantinya menjual hasil buminya atau tangkapan ikannya. Secara tradisionil dan sederhana, seorang nelayan misalnya dapat berhutang dahulu kepada seorang pedagang atau Taoke setempat sebelum melaut (untuk mendapatkan bahan bakar, es batu untuk mengawetkan ikan, makanan, sewa perahu, perlengkapan menangkap ikan, dll).

Hasil tangkapannya atau hasil bumi ini biasanya ditampung dan dibeli oleh para pedagang setempat dan sebagian dipergunakan untuk membayar hutang atau uang mukanya kembali. Selebihnya dipergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang disalurkan oleh para pedagang sebagai distributornya, dengan demikian kegiatan ekonomi dapat berjalan lagi. Suka atau tidak suka, model atau interaksi perdagangan inilah yang telah berfungsi sampai sekarang.

Metode canggih dan modern seperti mendapatkan kredit dari Bank Perkreditan Rakyat setempat, relatif sukar untuk dilaksanakan bagi nelayan atau petani kebanyakan, karena prosedur dan birokrasinya berbelit serta makan waktu dan biaya, pada umumnya mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan atau kolateral, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Karenanya Gubernur Maluku telah menghimbau kepada warga Tionghoa yang berasal dari Ambon dan Ternate, untuk kembali kesana untuk menjalankan roda perekonomiannya kembali.

Demikian juga dengan di Aceh, warga Tionghoa dapat berperan menjalankan roda ekonominya kembali di Aceh. Berbeda dengan di Maluku, Aceh banyak menerima bantuan-bantuan dari lembaga Internasional. Tetapi inipun harus dilanjuti dengan suatu kegiatan ekonomi.

Kedudukan Geo-Strategis Aceh

Aceh dikenal sebagai salah satu provinsi yang kaya akan sumber alamnya di Indonesia dan kelebihan Aceh dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia adalah lokasinya yang strategis sama seperti pada abad-abad yang lalu. Aceh terletak di jalur lalu lintas pelayaran Internasional atau disebut SLOC (Sea Lines of Communication) yaitu di selat Malaka yang sangat strategis dan merupakan pintu gerbang yang menghubungi lautan Pasifik dengan lautan Hindia.

Selat Malaka yang panjangnya sekitar 900 km itu diliwati sekitar 50.000 kapal setiap tahunnya serta 11 juta barel minyak diangkut oleh kapal tanker melintas selat ini setiap harinya, serta seperempat perdagangan dunia dan 80% kebutuhan minyak Jepang dan Tiongkok diangkut melalui selat ini.

Dari segi geografis, Aceh terletak berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan baru di abad 21 yaitu Tiongkok dan India. Dengan kedua negara ini, Aceh telah memiliki hubungan perdagangan yang bersejarah sejak beberapa abad yang lalu. Jadi Aceh terletak dipersimpangan jalur perdagangan internasional dan budaya. Karena posisinya yang strategis ini maka Aceh menjadi pusat pertemuan, perhatian dan kepentingan pihak-pihak nasional dan internasional serta negara lainnya. Maka tidak heran kalau negara EU dan negara lainnya berkepentingan menjadi mediator perdamaian di Aceh dan beberapa orang-orang penting seperti Clinton, mantan presiden AS juga datang berkunjung ke Aceh lebih dari satu kali..

Pada perang kemerdekaan 1945, menjelang persetujuan Renville, Belanda meningkatkan blokade ekonominya terhadap Republik Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Sejak itu pemerintahan RI melakukan berbagai usaha untuk menembus blokade ini dari Aceh keluar negeri (Malaya, Singapura, Thailand). Selama perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah dikuasai Belanda. Dengan demikian Aceh merupakan daerah aman atau basis untuk menampung senjata yang didatangkan dari luar negeri. Dalam hubungan ini seorang Tionghoa, Mayor John Lie beserta kawan-kawannya berhasil menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan mempergunakan speed boat, dan salah satu speed boatnya terkenal dengan nama " The Outlaw".

Sumber : http://www.acehbesarkab.go.id

Readmore.....“HUBUNGAN SEJARAH ACEH & TIONGKOK”

Free MP3 Aceh ...Ramlan Yahya

1.Dek Cut - Ramlan Yahya :Download

2.Duroe meubisa - Ramlan Yahya :Download

3.Hana Guna - Ramlan Yahya : Download

4.Marcelina - Ramlan Yahya : Download

5.Meunyeusai - Ramlan Yahya :Download

Readmore.....“Free MP3 Aceh ...Ramlan Yahya”

Free MP3 Aceh ...Rajawali Band

1.Aneuk Yatim - Rajawali Band :Download

2.Beujroh - Rajawali Band :Download

3.Haba peuingat - Rajawali band : Download

4.Oh watee mate - Rajawali band : Download

5.Tanoh pusaka maja - Rajawali band :Download

6.Wasiet ureung syik - Rajawali band :Download

Readmore.....“Free MP3 Aceh ...Rajawali Band”

Thursday, October 8, 2009

Fenomena mata langit .. benarkah..?

Setiap Fenomena yang terjadi dibumi ilahi ini selalu menjadi berita yang selalu ingin diketahui /dilihat oleh manusia..itu wajar..karena setiap kejadian diluar batas dan tidak masuk akal selalu menjadi daya tarik sendiri seperti Fenomena luarbiasa yang baru-baru ini terjadi yaitu FENOMENA MATA LANGIT yang dikaitkan dengan kejadian gempa di padang dan acara ritual di Bali, inilah kita manusia selalu mengkaitkan sebuah fenomena dengan kejadiaan yang sedang terjadi saat ini terjadi.

Mungkin sobat mau download silakan klik kata Download atau kata Fenomena Mata Langit dibawah video ini.




Download - Fenomena Mata Langit

Subahanallah..BENAR TIDAKNYA FENOMENA ITU TERGANTUNG PADA PANDANGAN KITA MASING-MASING , Berikut dibawah ini beberapa pandangan dan lokasi kejadian FENOMENA MATA LANGIT yang saya kumpulkan dari berbagai sumber :

1. Fenomena Alam 3 Jam Setelah Gempa ini membuat Bulu Kudukku Merinding setelah melihatnya...Yang Mengambil Gambar "Tidak Sengaja ini" sebenarnya hanya
mau mengambil gambar genteng rumah yang pada roboh akibat gempa tapi
Allah Membuat Teguran Kepada Manusia..Mata Langit seperti sedang murka pada bumi serta penghuni dan isinya.. ( Facebook - Mohammad Ikhsan Mantu )


2. Video ini kata teman saya diambil diatas pura di daerah Besakih - Bali. Namun setelah saya browsing internet, ada yang mengatakan bahwa penampakan ini terjadi di propinsi Xin Jiang - RRC. Tapi ada lagi yang mengatakan bahwa penampakan ini terjadi di daerah Yunani. Entah siapa yang benar, namun menurut saya, penampakan ini sangatlah menakjubkan. That's amazing! ( http://mydesitube.com )

3.Kejadian aneh selepas subuh... di Bandar Bozkir , Konya , Turkey ( http://mydesitube.com )

4. sepasang mata terlihat di awan di daerah solo New Fenomena , Solo - Indonesia at March 2009 ( http://mydesitube.com )

5. Subhanallah, ini juga terjadi di gorontalo. setelah badai tiba-tiba terdengar suara adzan dari langit. dan ternyata kamera menangkap awan yang menyerupai mata dab hidung...( http://mydesitube.com )

6. Di hari Jumat, 24 April 2009 kemarin umat Hindu di Bali menyelenggarakan upacara penutupan Tawur Panca Bali Krama di Pura Besakih. Upacara ini digelar setiap 10 tahun sekali, yaitu pada Tilem Caitra/Kasanga ketika tahun Saka berakhir dengan 0 atau rah windhu.Nah, setelah upacara penutupan Tawur Panca Bali Krama di Pura Besakih selesai, ada fenomena alam yang menyerupai dua mata dan hidung di awan, berhasil terekam camera handphone seorang peranda di besakih, waktu bersih2.( http://www.tetestinta.com )

7. Hasil Rekayasa arena ada video serupa di youtube yang telah di posting tahun 2007 silam ( http://www.dstudiobali.com/webdesign/dua-mata-di-langit-besakih-benarkah/ )

8. Hasil Rekayasa : Satu hal lagi yang membuat saya yakin itu hasil rekayasa adalah video itu sudah ada di YouTube sejak tahun 2007 ( http://www.madegelgel.com/2009/05/penampakan-mata-tuhan.html )

Video Youtube tahun 2007



Bagaimana pandangan sobat tentang Fenomena di atas ...?

Readmore.....“Fenomena mata langit .. benarkah..?”

Monday, October 5, 2009

GEMPA BUMI

Misteri apa yang tersembunyi di balik gempa bumi yang tidak pernah berhenti memangsa manusia dan isinya di setiap sudut bumi gempa melanda...hanya Tuhan yang tahu.



Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan.( http://id.wikipedia.org )

Manusia bisanya hanya mencari sebab setelah gempa melanda walau segala macamperalatan telah diciptakan untuk mengantisipasi bencana tapi manusia tetaplah manusia,manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dan Tuhan tidak akan pernah membocorkan rencanya kepada manusia ciptaannya kecuali manusia pilihannya.

Ini salah siapa ini dosa siapa ,korban berjatuhan bertumbangan disaat bencana,kematian paling menyedihkan dialami manusia,kerusakan-kerusakan tidak masuk akal menimpa bumi,misteri yang tak terpecahkan tetap misteri.

Manusia sudah berusaha sampai batas kemampuan denga melakukan penelitian dan penyelidikin yang takpernah berhenti dan berusaha mengatasi segala kemungkinan sebelum gempa terjadi,tapi apa daya manusia terhadap sedikit kemurkaan Tuhan ini.

Saya turut berduka cita dan belangsungkawa atas musibah gempa bumi yang menimpa saudara-saudara kita di sumatra barat yang terjadi pada pukul 17.16.09 WIB, Rabu, 30 September 2009 dengan goncangan gempa 7,6 SR.di lokasi 0.84 Lintang Selatan dan 99.65 Bujur Timur. Pusat gempa berada di arah 57 kilometer barat daya Pariaman, Sumatera Barat.Dari data Satkorlak Sumbar hingga pukul 19.00 WIB 4 Okt 2009, jumlah korban yang tewas akibat gempa terus merangkak naik dan telah mencapai 605 jiwa. Dengan rincian 231 (Padang), 49 (Kota Pariaman), 4 (Kota Solok), 276 (Kabupaten Padang Pariaman), 32 (Kabupaten Agam), 3 ( Kabupaten Pasaman Barat), dan 10 orang (Kabupaten Pesisir Selatan).





Semoga korban yang sudah meninggal sudah tenang dan selalu diterima disisi_Nya ( Innalillahi wa innailaihi rraji,un )

Semoga yang masih hidup tabah dan tawakal dalam menerima cobaan ini,karena setiap cobaan yang diberikan oleh Allah Swt selalu ada rahmat dan hikmah sesudahnya.

Terima kasih kita ucapkan kepada media,LSM,Tim SAR dan Relawan yang telah meluangkan dan menyisihkan waktu dan tenagan dengan tulus dan ikhlas di seluruh penjuru nusantara untukmembantu saudar-saudara kita yang sedang ditimpa bencana.

Bagi yang mampu,mari kita sisihkan sumbangkan dengan ikhlas apa yang patut kita sumbangkan baik uang,sandang pangan maupun do,a untuk saudara kita di sumatra barat melalui Media,Tim SAR dan Relawan di tiap daerah masing-masing.

Sumber Foto :http://www.padang-online.com

Readmore.....“GEMPA BUMI”

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008 Aceh Blogging

Back to TOP